Makanan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia yang wajib dipenuhi. Ada istilah makan untuk hidup, sehingga tanpa makan orang tidak bisa menikmati dunia. Untuk memenuhi kebutuhan ini setiap hari masyarakat mengkonsumsi aneka jenis makanan, mulai dari makanan pokok, siap saji, kudapan, camilan, buah maupun sayur. Perlu beberapa persyaratan agar makanan yang masuk ke dalam tubuh bisa dimetabolisme dengan baik tanpa khawatir adanya efek samping. Permasalahan saat ini adalah, masih ditemukan makanan mengandung bahan berbahaya yang sering disalahgunakan yaitu formalin, boraks, pewarna merah rhodamin B dan pewarna orange methanyl yellow.
Mengapa sampai saat ini di era canggih revolusi industri 4.0, Indonesia tercinta masih berkutat dengan bahan berbahaya yang seolah mengalir tak pernah habis, dan ini telah berlangsung sejak berpuluh tahun yang lalu ? Ada 3 (tiga) sisi yang bisa dikorek untuk menjawab pertanyaan ini, yaitu dari sisi pelaku usaha, sisi konsumen, dan sisi pemerintah yang merupakan tiga pilar penangungjawab peredaran pangan yang aman.
Dari sisi pelaku usaha, sebagaimana umumnya pelaku usaha, profit adalah yang utama ketika mereka menjalankan bisnis, namun ada profit yang diterima dengan alur kejujjuran dan koridor peraturan, serta profit yang diiringi dengan semboyan asal untung tanpa mengindahkan peraturan dan kepedulian adanya bahaya kesehatan. Perlu diketahui bahwa ke-empat bahan berbahaya tersebut akan menaikkan performance produk yang dihasilkan, yang nantinya berimbas pada penjualan di pasaran, misalnya formalin memperpanjang umur simpan sehingga tidak mudah basi/busuk, boraks memperbaiki tekstur sehingga lebih renyah atau kenyal, pewarna rhodamin B dan methanyl yellow memperbaiki kenampakan sehingga lebih menarik dipandang tanpa khawatir warna akan menjadi luntur atau kusam.
Bagi pelaku usaha yang tidak peduli dan menempatkan keuntungan di atas segala-galanya, maka akan sulit mengubah menuju ”jalan yang benar”. Mereka berlindung dibalik kalimat ”ini bukan urusan saya” dan adanya hukum ekonomi selama ada demand maka akan ada supply. Selama ada pembeli ”why not”. Memang tidak semua pelaku usaha berpikiran seperti itu, masih banyak juga yang karena ketidaktahuan, sehingga ketika dibina, kemudian memperbaiki yang salah menjadi benar.
Dari sisi konsumen, sebagai konsumen yang hidup di negara berkembang, faktor keamanan masih belum menjadi prioritas utama dalam proses memilih pangan untuk dikonsumsi. Pertimbangan pemilihan masih tertuju kepada rasa yang enak, harga yang murah dan penampilan yang oke. Hal ini menyebabkan timbul supply terhadap pangan yang seharusnya sudah terbukti tidak aman, tetapi masih saja dikonsumsi oleh masyarakat. Ada 3 kriteria konsumen yang tahu, tidak tahu dan tidak mau tahu. Konsumen yang tahu tentu saja menerapkan tindakan preventif misalnya dengan membeli produk terdaftar yang telah terjamin keamanannya, lebih memilih pangan tidak berwarna, mengurungkan hasrat untuk mengkonsumsi, ketika tahu bahwa ”track record” pangan tersebut ada yang mengandung bahan berbahaya.
Tingkat supply yang tinggi disumbangkan oleh konsumen yang tidak tahu dan tidak mau tahu. Mereka biasanya tetap mengkonsumsi dengan asumsi bahwa efeknya belum tentu ada. Konsumsi pangan mengandung bahan berbahaya memang tidak berakibat secara langsung, seperti orang keracunan karena bakteri. Bahan berbahaya terakumulasi di dalam tubuh dan akan berisiko ketika mencapai batas tertentu, dimana tubuh sudah tidak mampu mentolerir, dalam bentuk gangguan pada organ tubuh ataupun timbulnya kanker. Oleh karena itu adanya bahan berbahaya ini sering diabaikan karena risiko penyakit akan muncul setelah beberapa tahun kemudian.
Sisi pemerintah, sebagai motor pengawas keamanan pangan yang beredar, telah menyediakan berbagai payung hukum untuk menghilangkan potensi penggunaan bahan berbahaya dalam pangan. Selain peraturan, pemerintah daerah dan pusat bersinergi melakukan pengawasan, pembinaan, dan KIE / komunikasi, informasi dan edukasi baik kepada pelaku usaha maupun masyarakat sebagai konsumen produk pangan. Namun pengawasan dan penegakan aturan ini tentunya belum bisa secara menyeluruh dilaksanakan. Adanya kendala SDM, anggaran dan waktu menyebabkan penanganan kasus penggunaan bahan berbahaya, belum bisa secara maksimal dilakukan. Ditambah lagi dengan pengadaan pangan yang tidak tertelusur karena nota polos, titipan sales keliling ataupun lintas batas daerah, yang mengakibatkan oknum pelaku sebagai ”ikan besar” belum bisa tertangkap dan hanya mampu menindak ”ikan-ikan kecil” di lapangan.
Selain memperkuat pengawasan, saat ini telah digencarkan program KIE untuk membentuk konsumen yang cerdas dalam memilih, sehingga mampu meilindungi diri sendiri dari konsumsi pangan yang tidak aman. KIE masif dilakukan melalui media cetak, elektronik dan sosial maupun secara tatap muka langsung melalui berbagai program yang menyasar desa, pasar maupun sekolah.
Perkuatan 3 pilar pengawasan keamanan pangan menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan Indonesia bebas dari pangan mengandung bahan berbahaya. Kerjasama antara pelaku usaha, konsumen dan pemerintah dalam menegakkan peraturan sangat diperlukan, sehingga sesuatu yang awalnya sulit diterapkan akan mudah dan berubah menjadi kebiasaan yang baik. Permintaan konsumen yang tadinya menjadi alasan bagi pelaku usaha untuk tetap berproduksi dan berdistribusi, akan bisa tersaring dengan sendirinya ketika konsumen telah menjadi konsumen yang cerdas dalam memilih. Untuk selalu diingat bahwa investasi kesehatan sejak dini menjadi penting, agar di usia tertentu tetap terus terjaga dengan kondisi tubuh yang sehat.